30.6 C
Jakarta
26, April, 2024
JurnalPost.comCitizen ReporterMari Kenali Lima Hal yang Menjadi Ciri Khas Masyarakat Minangkabau

Mari Kenali Lima Hal yang Menjadi Ciri Khas Masyarakat Minangkabau

JURNALPOST – Minang Kabau berasal dari kata Minang dan Kabau, dimana “Minang” memiliki arti menang dan “Kabau” artinya kerbau. Penamaan minang kabau ini tidak terlepas dari seajarah yang ada, nama Minangkabau berasal dari sebuah peristiwa adu kerbau antara kerajaan Pagaruyung dengan kerajaan Majapahit didalam pertandingan adu kerbau tersebut dimenangkan oleh kerbau Minang sehingga disebutlah sebagai Minangkabau. Minang kabau sering juga disebut dengan Minang, kata Minang sangat identik dengan provinsi Sumatera Barat. Provinsi Sumatera barat terletak disepanjang pesisir pulau Sumatera.

Di Minangkabau terdapat satu ungkapan yang hingga saat ini dijadikan sebagai pegangan teguh masyarakatnya yaitu ” Adaik basandi syarak, syarak basandi kitabullah” yang memiliki makna adat yang didasari oleh hukum Islam, hukum islam mengacu kepada kitab yang diturunkan Allah. Didaerah Minang memiliki lima ciri khas yang sangat melekat dalam masyarakatnya, lima ciri khas tersebut yaitu Masyarakat minang manganut sistem matrilineal dimana garis keturunan melalui jalur ibu atau perempuan,Memiliki rumah adat yang dikenal dengan rumah gadang berupa rumah panggung dengan atap menyerupai tanduk kerbau, Keluarga perempuan menetap tinggal dirumah sedangkan keluarga laki-laki yang sudah beristri tinggal dirumah istrinya, Budaya merantau kaum laki-laki diminang, dan Ketetapan bahwa masyarakat yang satu suku tidak diperbolehkan untuk menikah. Berikut akan dijelaskan mengenai tiga hal yang menjadi ciri khas tersebut.

1. Masyarakat Minang menganut sistem Matrilineal (keturunan jalur ibu)

Matrilineal adalah suatu adat atau kebudayaan masyarakat Minang yang mengatur garis keturunan berasal dari pihak ibu. Sistem ini cukup unik karena di Indonesia hanya masyarakat Minang yang menganut sistem ini, daerah lain menetapkan garis keturunan berasal dari ayah atau pihak laki-laki. Sistem ini menyebar keseluruhan wilayah Sumatera Barat, sistem ini berfungsi untuk mengatur garis keturunan dan akan memudahkan Masyarakat Minang mengetahui garis keturunannya.

Dalam sistem matrilineal ini perihal membagi harta warisan juga memiliki ketetapan yang berbeda, dimana perempuan berhak mendapatkan harta warisan lebih banyak dari pada laki-laki. Hal ini sudah menjadi ketentuan dalam masyarakat Minang sehingga jika ada permasalahan mengenai membagi harta warisan itu sudah ada ketentuannya yang bisa dijadikan pedoman, sehingga pewaris laki-laki tidak dapat memberontak akan haknya yang ingin memiliki lebih. Jika seorang ibu punya banyak anak perempuan, harta akan dibagi secara merata kepada mereka. Karenanya, makin banyak garis keturunan sang ibu, maka harta waris yang didapat kian sedikit. Nah, jika seorang ibu tak memiliki anak perempuan sama sekali, maka garis keturunan di keluarga itu akan terputus dan harta waris harus diberikan kepada saudara dekat sesuku.

2. Memiliki Rumah Adat yang disebut dengan Rumah Gadang

Setiap provinsi tentunya memiliki rumah adat masing-masing, begitu juga dengan Provinsi Sumatera Barat memiliki rumah adat. Masyarakat Minang biasa memanggilnya dengan rumah gadang atau rumah bagonjong. Rumah gadang adalah nama panggilan untuk rumah tradisional diminangkabau yang banyak dijumpai diseluruh wilayah Sumatera Barat. Rumah gadang ini sering juga disebut sebagai rumah bagonjong atau rumah baanjuang karena memiliki bagian atap yang berbentuk runcing menjulang. Bentuk Rumah Gadang sendiri menyerupai bentuk kapal, yaitu kecil di bawah dan besar di bagian atas nya. Bentuk atapnya melengkung ke atas seperti setengah lingkaran, dan berasal dari daun Rumbio (nipah). Yang biiasanya Rumah Gadang digunakan sebagai tempat musyawarah oleh masyarakat Minangkabau.

Rumah gadang yang menjadi rumah adat masyarakat provinsi Sumatera Barat ini memiliki karakteristik tertentu yang juga memiliki makna tersendiri dalam pembangun dan pemahaman masyarakatnya, diantaranya yaitu :

– Jumlah kamar, rumah gadang dikenal dengan “Rumah Gadang Nansambilan Ruang” pada dasar rumah gadang memiliki ketentuan tersendiri dalam membuat jumlah kamarnya. Jumlah kamar pada rumah gadang dibuat berdasarkan jumlah perempuan yang tinggal dirumah tersebut dan biasanya dilebihkan satu kamar untuk lansia atau anak gadis. Karena hanya disediakan kamar untuk anak perempuan, laki-laki biasanya tidur diruang luar dan jika sudah beranjak dewasa sebagian masyarakat memiliki adat untuk tidur disurau dan dianjurkan untuk merantau.
– Atap Rumah, salah satu hal yang unik pada penampilan rumah gadang ini adalah pada bagian atapnya biasanya terbuat dari ijuk dan membentuk tanduk kerbau meruncing yang sekaligus melambangkan kemenangan masyarakat Minang dalam perlombaan adu kerbau.
– Ukiran, hal yang unik lainnya pada rumah gadang selain atapnya yaitu ukiran. Ukiran pada rumah gadang sangat unik dan biasanya dipenuhi dengan warna yang mencolok sehingga menarik perhatian. Motif pada ukurannya yaitu flora dan fauna yang memiliki makna keselarasan antara masyarakat dan alam sekitarnya, karena diminang terdapat istilah ” Alam Takambang Jadi Guru”
– Rumah Gadang ini dibangun tidak menggunakan paku, berbeda dengan bangunan pada umumnya yang biasanya dibangun dengan menggunakan paku namun rumah gadang dibangun tidak menggunakan paku, melainkan menggunakan pasak yang terbuat dari kayu sehingga ada kemungkinan rumah gadang ini tahan dari guncangan gempa bumi.
– Tiang Rumah, pada rumah gadang tiang tidak langsung tertanam ditanah melainkan bertumpu diatas batu yang kuat dan lebar, dan kayu yang digunakan pada tiang rumah gadang yaitu kayu dari pohon juga.
– Tangga Rumah Gadang, walaupun berukuran besar dan memiliki banyak ruang rumah gadang hanya memiliki satu tangga yang berada ditengah depan dan memiliki makna yang erat kaitannya dengan agama Islam.

3. Keluarga Perempuan Tinggal di Rumah dan Laki-laki yang Sudah Menikah Pindah ke Rumah Istrinya.

Sebagaimana dengan ketentuan rumah gadang yang dibangun dengan membuat kamar sesuai dengan jumlah perempuan yang tinggal di rumah tersebut. Begitu juga dengan masyarakat Minang walaupun tidak memiliki rumah gadang dan hanya rumah biasa pada umumnya juga mengikuti ketentuan rumah gadang dimana laki-laki yang sudah menikah akan pindah kerumah istrinya. Ketetapan ini sudah tidak dapat dipungkiri lagi oleh masyarakat Minang karena sudah menjadi budaya dan jarang sekali Perempuan yang tinggal dirumah suami kecuali karena alasan tertentu.

4. Budaya Merantau Pemuda di Minang

Merantau merupakan salah satu identitas pemuda Minangkabau, terkait dengan jumlah kamar yang disediakan dirumah hanya untuk perempuan hal itu juga mendukung budaya marantau para kaum laki-laki di Minang. Menurut masyarakat Minang jika laki-laki yang sudah dewasa dan belum ada niat menikah maka akan sangat dianjurkan untuk merantau jika tidak maka itu akan dianggap sebagai pengecut bagi sebagian masyarakat. Merantau juga tidak terlepas dari bimbingan Ninik mamak, dimana Ninik mamak yang akan mengarah kemana tujuannya akan merantau, bagaimana hidup dirantau orang, dan merantau bukan berarti pergi untuk selamanya melainkan ada kalanya untuk pulang dan menikahi perempuan minang. Tetapi banyak juga para perantau yang menikahi perempuan diperantauannya karena mereka merasa saling cocok dan biasanya setelah menikah pemuda perantau ini akan kembali keperabtaun bersama istrinya dan banyak juga yang tinggal menetap dikampung karena memiliki modal untuk membuka usaha dikampung bersama istrinya.

5. Larangan Menikah Sesuku Dalam Masyarakat Minang.

Perkawinan menikah Sesuku dalam masyarakat Minang sangat ditentang dan juga sudah menjadi budaya. Hal ini didukung oleh beberapa alasan tertentu diantaranya yaitu ; Diduga masyarakat yang satu suku memiliki hubungan darah sehingga dilarang untuk melangsungkan pernikahan, pergaulan yang sempit karena satu suku merupakan satu keturunan maka jika menikah dengan suku yang sama itu artinya pergaulan atau tali persaudaraan tidak akan bertambah melainkan itu-itu saja, keturunan yang kurang berkualitas karena adanya perkawinan sedarah maka anak yang dihasilkan dianggap kurang patut dan menyebabkan kurangnya kualitas bahkan terkadang ada yang cacat, memutuskan tali persaudaraan dan garis keturunan jika perkawinan satu suku tetap dijalankan maka akan dikenakan sanksi dikeluarkan dari suku tersebut karena melanggar ketentuan yang ada dan hal itu akan membuat tali persaudaraan dan keturunan terputus begitu saja.

Biodata Penulis
Indah Sari NIM: 2010722016, Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas.

Rekomendasi untuk anda

Jangan Lewatkan

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini