32.9 C
Jakarta
27, April, 2024

Perempuan Tidak Harus Telanjang

“Makanya, tutup auratmu,”
“Makanya, jangan pakai pakaian terlalu terbuka,”
“Hijabnya mengundang,”
“Pakai baju panjang sih, jadi orang penasaran dalamnya seperti apa,”

JURNALPOST – Kalimat-kalimat tersebut yang mungkin akan kita dengar sebagai respons ketika seorang perempuan melaporkan kasus kekerasan atau pelecehan seksual yang terjadi kepadanya. Selalu tentang aurat dan pakaian. Apakah benar pakaian seorang wanita merupakan faktor terjadinya pelecehan seksual? Apakah benar pakaian perempuan yang terbuka ‘mengundang’ terjadinya kasus pelecehan seksual?

Menjadi perempuan di Indonesia memang tidak mudah. Menurut studi dari perusahaan riset Singapura, Visual Champion, menemukan bahwa Indonesia sudah menempati tingkat kedua di Asia Pasifik sebagai negara paling berbahaya untuk perempuan. Memang sepertinya, tidak ada tempat yang aman bagi perempuan. Kita selalu dihantui perasaan takut dilecehkan karena tindakan tersebut dapat terjadi di mana saja, takut untuk berpakaian karena menggunakan pakaian tertutup pun tidak menjamin kita tidak dilecehkan.

Sebuah video yang diunggah oleh akun @mintulgemintul2 di Instagram sedang viral. Video tersebut menampilkan seorang perempuan yang dilecehkan oleh seorang laki-laki ketika sedang sujud saat menjalankan ibadah salat tarawih dan laki-laki itu menganggap tindakan tersebut sebagai sebuah becandaan. Pelecehan tetap pelecehan. Aksi bejat seperti ini tidak bisa ditoleransi bagaimana pun bentuknya.

Ada rasa marah dan kecewa ketika saya melihat video tersebut. Menjadi perempuan di Indonesia memang tidak mudah. Indonesia sendiri sudah menempati tingkat kedua di Asia Pasifik sebagai negara paling berbahaya untuk perempuan. Sepertinya, tidak ada tempat yang aman. Kita selalu dihantui perasaan takut untuk dilecehkan karena pelecehan dapat terjadi di mana saja.

Seperti yang kita tahu bahwa ketika seorang perempuan menjalankan ibadah salat, salah satu syarat agar ibadahnya sah adalah mereka harus menggunakan

mukena untuk menutup auratnya kecuali bagian wajah dan telapak tangan. Ini merupakan bukti nyata bahwa pakaian yang dikenakan perempuan bukan merupakan

faktor terjadinya kasus pelecehan seksual. Saya jadi ingat tulisan di salah satu poster ketika Women’s March Jakarta tahun 2018 silam yang berisikan “Bukan salah tubuhku atau pakaianku, tetapi kamu melanggar otoritas tubuhku,”. Memang faktanya, mereka yang menjadi korban pelecehan seksual tidak menggunakan baju yang terbuka. Suatu pameran seni di Amerika yang dibuat oleh Dr. Mary Wyandt-Hiebert ini menunjukkan pakaian para korban pelecehan seksual dan mayoritas korban tidak menggunakan pakaian yang terbuka. Survei pun menunjukkan bahwa 18% korban pelecehan seksual menggunakan celana atau rok panjang, 17% menggunakan hijab, dan 16% menggunakan baju lengan panjang. Bukan berarti perempuan yang berpakaian minim yang rawan untuk dilecehkan dan sudah sepantasnya untuk tidak menjadikan pakaian perempuan sebuah acuan untuk menyalahkan korban pelecehan seksual. Memang mengumbar aurat itu dosa, melecehkan perempuan juga termasuk dosa ‘kan?

Dengan fakta-fakta yang ada, masih banyak orang yang menyalahkan korban pelecehan seksual karena pakaian yang dikenakannya. Padahal, yang menjadi penyebab pelecehan tersebut bukanlah pakaian yang dikenakan perempuan, tetapi pelaku yang tidak bisa mengontrol hawa nafsunya. Masih banyak orang yang tidak memandang perempuan sebagai manusia, tetapi sebagai objek seks. Biasanya dengan kalimat “Sengaja pakai pakaian seperti itu? Mau mancing nafsu orang,”.

Perempuan memiliki kuasa atas tubuhnya sendiri. Mereka tidak akan bisa menghormati perempuan jika mereka tidak mengakui bahwa otoritas tubuh perempuan adalah milik perempuan. Oleh karena itu, mereka merasa bahwa mereka pantas melanggar otoritas tubuh perempuan. Ini merupakan sebuah contoh nyata bahwa pelecehan seksual memiliki kaitan yang erat dengan budaya patriarki yang menganggap bahwa laki-laki memiliki kuasa dan perempuan hanya dianggap sebagai objek seks. Kalau pemikiran seperti ini masih dipertahankan, mau perempuan memakai pakaian yang tertutup dari ujung rambut sampai ujung kaki pun tidak akan berpengaruh karena permasalahannya ada di pemikiran si pelaku.

Perempuan bukan ikan asin dan laki-laki bukan kucing. Analogi ikan asin dan kucing sering digunakan ketika ada kasus pelecehan seksual yang menjelaskan bahwa tindakan pelecehan seksual merupakan sesuatu yang lumrah. Selain analogi tersebut, ada juga analogi perempuan sebagai nasi padang seperti godaan saat bulan puasa yang terlalu menggiurkan untuk ditolak. Inti dari analogi-analogi tersebut adalah laki-laki memiliki hawa nafsu, tetapi mereka tidak bisa mengontrolnya sehingga perempuan yang harus mencegah terjadinya pelecehan dengan berpakaian tertutup. Bukan kami, perempuan yang harus menganti cara berpakaian kita, bukan kami yang harus mengurung diri di rumah. Namun, pikiran yang memandang perempuan sebagai objek yang harus dimusnahkan.

Kita tidak bisa memilih gender. Sudah menjadi takdir kami untuk diciptakan sebagai perempuan. Namun, melecehkan perempuan merupakan sebuah pilihan dan kalian bisa memilih untuk tidak melecehkan perempuan. Saya perempuan, memiliki tubuh dan organ yang sama dengan perempuan lainnya. Perempuan bukan properti, bukan barang yang bisa seenaknya digunakan. Kami perempuan menggunakan pakaian sebagai sarana kami untuk berekspresi, bukan ingin dilecehkan.

Tidak ada korban yang ‘mengundang’ untuk dilecehkan. Kita harus menghapus budaya patriarki yang ada di Indonesia. Kita tidak boleh mewajarkan hal-hal yang sebenarnya adalah tindakan pelecehan. Perempuan tidak butuh dimuliakan, perempuan hanya butuh dimanusiakan.

Selamat hari Kartini perempuan Indonesia! Tetap semangat berjuang untuk memperjuangkan hak-hak dalam segala aspek-aspek kehidupan.

Panjang umur perlawanan!
Hidup perempuan yang melawan!
Aku, kamu lawan pelecehan seksual karena yang melahirkan peradaban, tidak pantas dilecehkan.
Aku sudah menjaga diriku, bisakah kamu menjaga perilakumu?

Penulis: Jessica Adriana/Universitas Multimedia Nusantara